Desember 2013
Menurutku, kalian pasti sudah tidak asing mendengar kata Jakarta, Ibukota negara Indonesia, yang katanya kejam seperti ibu tiri.
Taukah kawan? Awalnya aku tidak mengindahkan kata-kata ini, aku sudah
terlalu senang diterima disalah satu perusahaan swasta di Ibukota,
walaupun bukan BUMN, bukan PNS, setidaknya ini dapat menjadi batu
loncatanku, tapi ternyata tidak.
Beruntung aku punya om yang baik hati, adik kandung ibukku,
membantuku untuk dapat bekerja di perusahaan kontraktor di Jakarta. Dan
beruntungnya lokasi kantor dekat dengan kantor BUMN teman terbaikku,
jadi kita bisa kos deketan (berharap satu kosan, tapi ngga bisa, karna
kos temanku sudah penuh)
Dari sana, petualangan seminggu ku dimulai ..
Hari pertama, menempati kos baru, tempat kerja baru .. Masa perkenalan dengan Jakarta tidak mulus teman.
Kos baru, ketika masuk kos baru, kita sudah dimulai dengan
pembayaran, sungguh ini berbeda dengan didesa dan dikota lain di
Indonesia, disini semua seperti berkata, UANG, UANG, UANG, semua
berorientasi pada MATERI, dimana, kalau bawa ini itu harus tambah bayar
ini itu. disini sudah tidak ada lagi kekeluargaan, tenggang rasa,
sebagaimana prinsip manusia hidup, bertetangga, kebaikan bergaul dengan
sesama, sikap gotong royong, tolong menolong, disini semua sudah tegadai
dengan MATERI. sedih aku merasakannya.
Kemudian masuk ke tempat kerja baru, hujan sepulang kerja, pukul 7
malam di Jakarta masih seperti pukul 2 siang didesa, atau pukul 5 sore
di Kota lain di Indonesia
Penuh, Sesak, Macet
Walalupun aku hanya berjalan kaki, aku merasakan kepenatan itu,
menyabrang, aku hampir saja tertabrak, lalu aku berjalan dengan tertib
di trotoar. Kaget aku melihat, motor-motor itu masuk ke trotoar dengan
kecepatan tinggi, tidak mau mengalah pada pejalan kaki, padahal trotoar
itu hak pejalan kaki, sekali lagi aku tegaskan TROTOAR ITU HAK PEJALAN
KAKI.
Tapi kita bisa melawan, mau kita kecam sekeras atau selembut apapun,
itu akan menjadi sesuatu negatif yang dapat menjadi bom, jadi pilihan
itu jatuh pada diam. Tapi diam itupun tidak menjadi benar disana
Kata siapa ibukota orangnya individu? kata siapa? ya mungkin individu
dalam masalah materi, dalam masalah gotong royong, tapi toh kau jalan
kaki pun, mengenakan baju tertutup, berjalan sopan, kau tetap akan
dipanggil2 digoda, itu kerisihanku kedua MORAL, KESOPANAN, taukah kalian
mengenai arti kata itu?
. JAKARTA HARI KEDUA .
Aku memberanikan diri, berangkat ke kantor
lewat jalan alternatif, jalan kecil melalui jalan pemukiman, tidak suka
aku melihat hiruk pikuknya kendaraan .. Tapi disisi itu, apa yang
kudapat, sebuah keprihatinan .. Jalan itu kurang lebih dua meter, akan
tetapi sudah beralih fungsi, satu meternya sudah dimanfaatkan pedagang
kaki lima untuk berjualan .. disampingnya ada selokan, menggenang,
hitam, berbau tidak sedap .. dari sini aku tangkap, hilanglah sudah
KEBERSIHAN .. mungkin dari luar tampak gedung berjejer dikota ini, akan
tetapi didalamnya kau lihat, rumah-rumah kecil petak itu berderet,
dengan jalan-jalan kecil, dengan selokan yang hitam dan bau .. Lalu kau
pasti akan bilang, kau salah cari kos mungkin, kau mungkin kos di daerah
kumuh, menurutku tidak, aku berada di area ring satu, disamping kantor
walikota, didekat kantor pemerintahan, bahkan sangat dekat dengan
landmark kota ini, monas.
Makan siang, salah seorang teman kantor mengajakku untuk pergi makan
siang diluar, dikompleks pujasera didekat salah satu kementrian, disana
banyak aku jumpai ibu-ibu, bapak-bapak berpakaian PNS yang juga membeli
makan siang.
Pujasera itu ramai, ditemani rintik hujan, sekeliling air menggenang,
diatapi tenda, orang-orang disana makan dengan lahapnya, aku .. entah
kenapa merasa risih, ada beberapa orang yang asyik menyantap bakso
dengan kuah yang bertambah, bertambah air hujan yang ku maksud, karena,
tenda itu tak dapat menebas seluruhnya air hujan, terkadang cipratannya
masuk. botol-botol saus dengan pewarna merah pekat, masuk ke mangkok
mereka .. seketika aku ingat acara televisi yang menayangkan investigasi
makanan-makanan di Jakarta. Dan seketika itu nafsu makanku hilang ..
MAKANAN DI KOTA INI MULAI TIDAK SEHAT.
Disela-sela makan siang itu, salah satu teman bertanya, “kamu lulusan
mana?”, owh kamu lulusan PTN?, kenapa kerja di swasta?, lalu pertanyaan
lain muncul, “kamu asli mana?, loh kamu dari daerah, kenapa kamu pilih
Jakarta?”. Peranyaan itu membuatku bertanya lagi pada diriku .. Kenapa
berani aku pilih Jakarta untuk sebuah pekerjaan swasta?
Mungkin jika pekerjaan ini merupakan pegawai negeri, akan aku
perjuangkan dimanapun diseluruh Jawa (karna itu merupakan cita-cita
sejak jaman purba) jikalau ini swasta, lalu mengapa? Hatiku mulai
bimbang, kemudian diam
Perjuangan hari ini tak sampai disitu, pulang kerja, aku masih harus
melalui jalan itu, terpaksa, dengan ditemani gerimis kecil, sehabis
hujan yang cukup deras tadi, tapi aku tidak mencium bau sedap tanah
selepas hujan, hanya bau got yang membuatku mual, tidak ada udara sejuk
dingin yang aku rasa, sehabis hujanpun, tetap masih panas.
Selepas sampai kos, aku merasa sesak, entah kenapa, aku rasa di kota
ini oksigen semakin menipis, coba kau bayangkan saja, berapa banyak
orang yang tinggal di kota itu, semuanya bernafas menghirup oksigen,
lalu kau bandingkan, berapa banyak pohon dan tumbuhan disana yang dapat
menyerap karbondioksida mu, lalu melalui proses fotosintesis pada siang
hari, mengubahnya menjadi oksigen. Belum lagi pencemaran udara dari
kendaraan bermotor, outdoor AC gedung-gedung perkantoran, pernahkan kau
berpikir tentang hal itu? OKSIGEN KOTA INI HAMPIR HABIS.
. JAKARTA HARI KETIGA .
Hari ketiga ..
Hari ini aku terpaksa izin tidak berangkat kekantor, karna harus
mengikuti test tahap 3 CPNS salah satu kementrian. Aku tidak tau menahu
kota ini, aku hanya mengikuti teman kosku kemana dia pergi, kebetulan
dia mengikuti test yang sama di Kementrian yang sama denganku .. test
jam 8, aku harus berangkat dari kost jam 6 kurang, padahal jarak yang
akan kami tempuh hanya 5 km, jika kita bandingkan dengan di daerah
ataupun di kota lain, jarak 5 km itu bisa kita tempuh hanya dengan waktu
kurang dari 10 menit dengan kecepatan rata2 40 km/jam, sedangkan
disini, kita harus mempersiapkan 2 jam sebelumnya hanya untuk jarak
5 km. WAKTU TERBUANG DI JALAN.
Pulang dari test, aku mengikuti temanku belanja disalah satu tempat
perbelanjaan, dari semua yang aku ceritakan negatif di atas, mungkin
hanya ini positifnya, sandang/pakaian disini cukup murah dengan model
yang lebih baru dan beragam dibanding daerah lain atau di desa. Disini
kami makan disalah satu restaurant cepat saji, lagi-lagi entah kenapa
makanan ini tidak bisa dinikmati lidahku dengan gampang, karna aku masih
berpikir, makanan cepat saji? mungkinkah ini akan aku konsumsi sering
untuk menghindari makanan yang aku anggap kotor dan tidak sehat,
bukankah makanan cepat sajipun sama tidak bagusnya? Dengan harga yang
tidak bagus juga untuk kantong pegawai baru sepertiku.
. JAKARTA HARI KEEMPAT .
Hari ini aku terpaksa masuk setengah hari,
karna aku harus mengikuti test tahap 3 di Kementrian lain .. aku tak tau
daerah yang aku tuju sebelah mana, seberapa jauh dari tempat ku
tinggal, akhirnya keputusan jatuh pada taksi. Pagi-pagi sebelum pukul 6,
kami sudah berkemas, menggunakan taksi, kurang lebih perjalanan kami 20
menit dengan jarak 12 km (pada gps yang aku punya). Perjalanan
berangkat itu lancar.
Aku mengerjakan test dan selesai lebih awal, pukul stengah 11, aku
berharap aku dapat kembali ke kantor dengan cepat, tapi malangnya, aku
tak tau bagaimana cara memesan taksi disini, puluhan taksi aku stop di
depan lokasi test yang aku ikuti, aku coba hubungi nomer taksi, hingga
aku ketuk pintu taksi yang berhenti, hasilnya NIHIL.
Hingga setengah 12, aku mulai putus asa, untunglah ada seorang teman
yang mau menolongku, dia sudah hampir setaun tinggal di kota ini. Aku
meminta bantuannya untuk memesankanku taksi. setelah dua kali meminta
armada, sejam kemudian baru taksi yang aku pesan datang, itupun dengan
berlari dan terburu-buru. 40 menit perjalanan menuju kantor, 2 kali
lipat waktu dari perjalanan berangkat. Ah, kota ini mulai membuatku
stress.
Sesampainya di kantor, teman kantor mengajakku untuk makan siang,
tapi ajakan itu aku tolak, aku lebih memilih membuat mie instant cup
dikantor, toh aku pikir, sama-sama tidak sehatnya, jadi, yasudahlah.
. JAKARTA HARI KELIMA .
Setiap malam setelah pulang kerja,
pikiran-pikiran itu menghantui otakku, berdesing, membuatku susah tidur,
jakarta yang panas terasa semakin panas, jakarta yang sudah sesak, aku
rasa semakin sesak .. 2 orang teman malam ini menginap, diam-diam (karna
kalian tau betapa matre nya kota ini, jika ketauan ada yang menginap,
bakal kena carger), sungguh realitas yang amat berbeda ketika kalian
kost di kota lain, dimana kalian masih bisa merasa INDONESIA, dimana
masi ada tolerasi, gotong royong dan saling tolong menolong.
Pembicaraan kami bertiga malam ini mungkin lebih cenderung ke arah
keluhan .. aku lelah sekali “….” salah seorang teman mengeluh, kamu bisa
bertahan? dengan kondisi seperti ini? Kalau aku ngga mau kalau cuma
kerja swasta disini, aku maunya kalau kerja disini ya jadi PNS.
Celetuk temanku itu semakin meyakinkanku, apa yang aku cari selama
ini? Apa yang aku cari di kota ini? pengalaman? kenapa tidak aku cari di
kota lain saja? di kota yang lebih bersahabat?
. JAKARTA HARI KEENAM .
Say good bye to Jakarta ...
Dengan
langkah gontai, memaksa masuk, menyusuri jalanan yang padat, dengan
pikiran yang penuh, izin dari orang tua sudah dikantongi, menetapkan
hati, memang seharusnya saya resign, saya sudah tidak ingin membebani
kota yang sudah penuh beban ini .. jika memang untuk bekerja disebuah
perusahaan swasta, saya lebih memilih untuk mencari di kota lain saja.
Tanpa berpikir panjang lagi, surat resign itu saya ajukan, saya pikir,
lebih cepat lebih baik, sebelum ada tanggung jawab yang saya emban,
sebelum banyak pekerjaan, sebelum semua terlanjur menjadi semakin rumit.
Saya tidak tahu berapa banyak orang yang merasakan apa yang saya
rasakan dan saya tidak tahu berapa banyak orang juga yang berkebalikan
dengan yang saya rasakan. Karena mata uang pasti punya dua sisi bukan?
seperti semua yang ada di alam semesta ini, ada sisi yang berbeda agar
semua tetap seimbang. boleh jadi kalian punya kisah yang lain.
Dan semoga ini bisa menjadi pelajaran, janganlah mudah mengambil
suatu tindakan dan sikap, tunggulah sejenak sampai kamu benar-benar
yakin kamu akan dapat menerima semua konsekuensinya.